Cerita Sitti Nurbaya

 

Sitti Nurbaya merupakan seorang remaja yang tinggal di Padang. Ia adalah anak pedagang kaya bernama Bagindo Sulaiman. Ibunya meninggal sejak ia masih kanak-kanak. Siti Nurbaya dikenal cerdas serta memiliki prinsip hidup yang kuat. Pemikiran yang berbeda dari para sepupunya tentang pernikahan dan berbagai adat yang kental akan patriarki membuat daya tarik tersendiri dari Siti Nurbaya.


Sejak masih duduk di Sekolah Rakyat (SR), Sitti Nurbaya bersahabat dengan Samsul Bahri yang merupakan anak dari penghulu di Padang dan juga terpandang. Samsul Bahri memiliki keinginan menjadi seorang dokter, akhirnya meninggalkan Padang untuk bersekolah di Batavia, Jakarta dan meninggalkan Siti Nurbaya.

Sepeninggal Samsul Bahri, hidup Bagindo Sulaiman dan Sitti Nurbaya berubah. Harta Bagindo Sulaiman perlahan habis akibat tipu daya seorang lelaki tua jahat bernama Datuk Maringgih. Jatuh miskin, Bagindo tak lagi mampu membayar hutang pada Datuk Maringgih yang mengancam memenjarakannya. Jika Bagindo Sulaiman tak mau dipenjara, ia harus menyerahkan anaknya untuk dinikahi Datuk Maringgih. Sitti Nurbaya tentunya merasa kecewa dan ketakutan karena permintaan Datuk Maringgih. Ia juga teringat pada kekasihnya, Samsul Bahri. Namun karena rasa cintanya pada sang ayah, Sitti Nurbaya rela dinikahi Datuk Maringgih sebagai istri mudanya.

Samsul yang mendengar kekasihnya menikah dengan pria lain merasa kecewa dan patah hati. Ia kemudian mengunjungi Padang setelah pernikahan Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih. Samsul Bahri pun bertemu dengan Sitti, tetapi pertemuan ini diketahui oleh Datuk Maringgih. Karena pertemuan ini jelas bertentangan dengan aturan adat, ayah Samsul merasa malu dan memarahi anaknya serta melarangnya pulang kembali ke Padang. Nasib Sitti sendiri juga sama malangnya. Datuk Maringgih mengusirnya dan kemudian meracuninya hingga meninggal.

Samsul Bahri masuk menjadi opsir Belanda. Ketika Samsul Bahri dikirim ke Padang untuk memadamkan suatu pemberontakan di sana, ia bertemu dengan pemberontak yang dikepalai oleh Datuk Maringgih. Dalam pertempuran itu Datuk Maringgih meninggal dunia dan Samsul Bahri meninggal setelah dirawat di rumah sakit. Sitti Nurbaya telah lama meninggal dunia karena diracun oleh Datuk Maringgih. Sampai sekarang di Gunung Padang ada lima kuburan yang berjejer. Kuburan itu adalah kuburan Bagindo Sulaiman, kuburan Sitti Nurbaya, kuburan Samsul Bahri, kuburan Sitti Maryam (ibu Samsul Bahri), dan kuburan Sutan Mahmud (ayah Samsul Bahri).

Sitti Nurbaya merupakan novel karya Marah Rusli. Di bawah judul novel ini tertulis anak judul: "Kasih Tak Sampai". Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1922 oleh Balai Pustaka. Merupakan satu karya sastra klasik yang sangat berpengaruh dalam perkembangan sastra Indonesia. Novel Sitti Nurbaya menyajikan potret konflik sosial yang tajam antara adat dan cinta dalam masyarakat Minangkabau di masa kolonial. Di dalamnya, juga terdapat kritik sosial terhadap struktur adat yang membatasi kebebasan individu, terutama perempuan, serta pengaruh penjajahan yang memperburuk ketidakadilan dalam kehidupan sosial.

Siti Nurbaya, sebagai tokoh utama, adalah simbol dari kaum perempuan yang terjebak dalam kungkungan adat. Ia tidak memiliki kebebasan untuk memilih pasangannya sendiri. Cinta sejatinya dengan Samsul Bahri tidak mendapatkan restu karena kekuasaan adat yang menuntut kepatuhan kepada orang tua dan sistem perjodohan. Pilihan yang diberikan padanya sangat terbatas: menikahi Datuk Meringgih atau melihat keluarganya hancur karena utang. Dalam hal ini, Siti Nurbaya adalah korban dari sistem sosial.

Di sisi lain, Samsul Bahri sebagai wakil dari kaum muda terpelajar juga mengalami tekanan sosial yang kuat. Meskipun ia berpendidikan dan memiliki pandangan modern, ia tidak dapat melawan adat secara langsung. Kepergiannya ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan merupakan bentuk pelarian dari keterikatannya dengan tradisi, tetapi hal tersebut tidak cukup untuk mengubah keadaan Siti Nurbaya. Marah Rusli dengan halus menampilkan bahwa pendidikan dan modernisasi tidak serta-merta mampu mengatasi kekuatan adat yang sudah mengakar.

Komentar