Kabupaten Kediri dikenal sebagai daerah yang kaya akan budaya, tradisi, sejarah, hinggah kearifan lokal. Sebagai kabupaten tertua di Jawa Timur, Kediri memiliki banyak cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah, mulai dari situs candi, arca, petilasan, pertapaan, cerita panji, hingga tradisi yang beragam dengan keunikan yang berbeda di setiap wilayah (desa) merupakan kekayaan budaya anugerah Tuhan Yang Mahakuasa bagi masyarakat Kediri.
Manusia dan budaya merupakan suatu hubungan erat dan saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Manusia dan budaya ada untuk saling melengkapi dan mendukung. Oleh sebab itu, budaya memerlukan sosok pendukung yaitu manusia yang jumlahnya lebih dari satu orang bahkan lebih dari satu keturunan sebab nantinya budaya akan diteruskan kepada orang-orang di sekitarnya termasuk juga kepada anak cucu dan keturunan selanjutnya.
Budaya dan manusia merupakan satu ikatan yang saling mempengaruhi sehingga menunjukan jika kebudayaan merupakan bagian dari diri manusia yang ada sejak lahir. Bertemunya suatu kebudayaan dengan budaya yang lain merupakan akibat adanya hubungan yang terjalin antar sosok pendukung atau dengan kata lain manusianya. Dengan adanya dua budaya yang bertemu maka timbulah dampak yang bisa dirasakan seperti pengaruhnya, timbal balik, dan sebagainya.
Umumnya suatu tradisi yang lebih tinggi akan memiliki pengaruh dan daya ubah yang besar, sedangkan jika suatu tradisi lebih rendah tingkatannya maka akan lebih banyak menerima dan lebih banyak mengalami pergantian.
Kabupaten Kediri merupakan salah satu daerah yang tergolong banyak menyimpan peninggalan nenek moyang baik berupa benda-benda bersejarah, tradisi, kegiatan upacara, hingga kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun yang mengandung nilai-nilai luhur di masyarakat.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.
Salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Kediri, khususnya masyarakat Desa Tanjung di Kecamatan Pagu, adalah tradisi panen ikan di Sumber Gundi atau masyarakat lokal menyebutnya dengan nama “Grobyak Gundi”.
Grobyak dilakukan setiap satu tahun sekali pada bulan Suro di awali dengan serangkaian acara (tasyakuran) mulai malam grobyak hingga esok hari sebelum masyarakat turun ke telaga. Tradisi panen ikan oleh warga setempat dinamakan grobyak yaitu suatu kegiatan menangkap ikan secara bersama sama dan hanya boleh dilakukan oleh warga lokal masyarakat Desa Tanjung.
Grobyak merupakan acara tahunan yang dilakukan oleh warga Desa Tanjung menyambut tahun baru Hijriah. Acara ini dilaksanakan sebagai rangkaian kegiatan bersih desa setiap bulan Muharram.
Gundi atau Sumber Gundi adalah suatu tempat di tengah area persawahan yang memancarkan sumber air kemudian mengalir ke dalam sebuah kolam besar yang hampir menyerupai telaga. Lokasinya berada di sisi timur Desa Tanjung, Pagu, Kabupaten Kediri.
Berdasarkan informasi dari pamong Desa Tanjung, Bapak Harsono, diyakini bahwa Sumber Gundi dahulu adalah sebuah taman kaputren sebagai tempat mandi atau bersuci Putri Menang, atau Putri Jayabaya. Selain bersuci, para putri juga memanfaatkan area tersebut sebagai tempat bercengkerama.
Grobyak Gundi berasal dari dua kata yaitu grobyak dan Gundi. Grobyak atau gropyok (bahasa Jawa) bagi masyarakat diartikan golek iwak bareng-bareng atau menangkap ikan bersama-sama. Disebut Grobyak Gundi karena kebiasaan menangkap ikan bersama-sama tersebut dilakukan di sebuah telaga yakni Sumber Gundi.
Tradisi grobyak sudah ada sejak zaman Belanda. Pada masa itu, grobyak dilakukan dengan sistem bawon atau dibawoni dalam bahasa Indonesia “dibagi”. Artinya, pada saat tradisi grobyak digelar, semua warga yang ikut turun ke kolam besar/telaga apabila mendapatkan ikan, misalnya 20 ekor, 2 ekor di antaranya dibagi atau diberikan kepada desa atau perangkat desa.
Seiring berkembangnya waktu, terjadi perubahan sistem, untuk menjaga agar tradisi tetap guyup dan semakin meningkatkan antusis warga, panitia (perangkat desa) memberikan hadiah berupa uang tunai kepada warga yang berhasil menangkap ikan dengan bobot ika terberat, diambil 3 peringkat teratas.
Tidak hanya desa, bahkan dari kesatuan Koramil Pagu juga turut memberikan apresiasi hadiah berupa uang tunai bagi siapapun warga yang berhasil menangkap ikan dengan berat 5 kg ke atas.
Hingga saat ini, tradisi Grobyak Gundi semakin berkembang. Warga yang mengikuti acara grobyak wajib membayar tiket masuk sebesar @Rp5.000,00. Tiket tersebut dikelola oleh Karang Taruna Desa Tanjung untuk dibelikan benih ikan yang baru.
Sebelum melaksanakan grobyak, warga menggelar acara tumpengan. Tumpengan dilaksanakan dua kali, yakni pada malam sebelum grobyak dan pagi hari sebelum warga turun ke kolam. Tumpengan dihadiri seluruh warga. Setiap RT yang hadir membawa tumpeng, Tumpeng dapat berupa nasi putih dan nasi kuning. Tetapi wajibnya berupa nasi putih.
Tumpengan merupakan salah satu kebudayaan asli Jawa yang mempunyai nilai filosofi tinggi. Tumpeng merupakan nasi yang dibentuk kerucut atau berbentuk seperti gunung. Bentuk tumpeng ini menggambarkan tingkatan proses hidup manusia dari awal hingga akhir (Amin, 2022:41).
Tumpeng dianggap sebagai makanan yang berkah. Sebab, terbuat dari nasi yang merupakan hasil kekayaan alam ciptaan Allah. Saat tumpeng telah dihidangkan, maka akan dilanjutkan dengan ritual ijab, doa bersama, dan kegiatan lainnya.
Sebelum tengah hari, warga sudah berdatangan ke lokasi. Mereka membawa peralatan mencari ikan yang dibawa dari rumah. Ada yang membawa pecak, susuk (bubu), serok, irig, dan lainnya. Tetapi, warga tidak langsung terjun ke air. Mereka menunggu panitia memberi aba-aba di tepi kolam. Dengan menghitung mundur dari lima, panitia pun membuka tradisi tahunan tersebut.
Warga yang semula berdiri tenang di tepi kolam langsung bergerak cepat masuk ke dalam kolam. Dalam acara grobyak, jenis ikan yang ditebar di dalam kolam bermacam-macam. Mulai yang jenis ikan emas, patin, lele, nila, tombro, dan mujahir. Bagi yang mendapatkan ikan dengan ukuran paling besar, warga akan mendapat hadiah tambahan. Yaitu berupa uang dari panitia.
Komentar
Posting Komentar